Sabtu, 14 April 2012

Menyikapi tuduhan Terhadap Al-Qur’an Tentang Perang!!!


Berulangkali, dengan bahasa yang vulgar diktat Menelusuri Jejak-jejak Komunis dalam Pergerakan Islam menuding Al-Qur’an sebagai kitab suci palsu yang harus disensor:

“Surat ini mengindikasikan adanya ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Palsu yang telah membuat umat Islam selalu dalam semangat perang dan memerangi kaum kafirin” (hlm. 20).

“Al-Qur’an juga harus kena sensor, di sana justru mengandung ayat yang paling brutal” (hlm. 54).

“Dan ternyata Al-Qur’an pun sudah disisipi ayat-ayat brutal dan keji. Jadi Al-Qur’an pun masih harus diteliti dan dibersihkan dari ayat-ayat sisipan para penguasa Arab yang haus menindas kaum perempuan dan Arab” (hlm. 92).

“Al-Qur’an dan hadits sudah dirubah dan disisipi ayat-ayat palsu dan disalahgunakan oleh penguasa yang gila kekuasaan” (hlm. 98).

Puncaknya, diktat bodong yang mencatut nama para tokoh Islam itu menyimpulkan bahwa umat Islam selalu bertengkar dan berperang karena mengamalkan ayat-ayat setan yang dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat yang dimaksud adalah: surat Asy-Syura 40, At-Taubah 5, Al-Baqarah 207, dll. (hlm. 115). Naifnya, tuduhan itu asal-asalan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan karena tidak disertai argumen ilmiah dan referensi yang jelas. Misalnya: jika dalam Al-Qur’an dituding terdapat sisipan ayat-ayat setan, siapa yang menyisipkan, kapan dan di mana penyisipan itu dilakukan, serta apa motifnya? Tuduhan adanya pemalsuan ayat-ayat Al-Qur’an, sepanjang sejarah tidak pernah terbukti. Secara logika, sejak awal diwahyukan Al-Qur’an dihafalkan dalam bahasa aslinya oleh para shahabat langsung di bawah pengawasan Rasulullah. Pasca Rasulullah, tradisi menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dalam bahasa asli itu dilanjutkan dari generasi ke generasi berikutnya. Sampai sekarang, sudah jutaan orang yang hafal Al-Qur’an (huffaz). Otomatis, para huffaz itu menjadi salah satu unsur keterjagaan keaslian Al-Qur’an. Penyusunan mushaf Al-Qur’an pada masa Utsman RA pun atas konsensus (ijma’) seluruh shahabat penghafal Al-Qur’an yang sudah diverifikasi kebenarannya dengan manuskrip ayat-ayat yang ditulis di bawah pengawasan Rasulullah SAW semasa hidupnya. Dengan demikian, seandainya terjadi usaha penyisipan satu huruf saja dalam Al-Qur’an, maka para penghafal Al-Qur’an itu langsung memberikan komplain. Hasilnya, tak ada satu huruf pun yang disisipkan dalam Al-Qur’an. Bagaimana dengan tuduhan adanya ayat setan yang disisipkan dalam Al-Qur’an? Tuduhan terhadap Al-Qur’an surat Asy-Syura 40 sebagai ayat setan pendorong kriminalitas sudah dijelaskan oleh Tim FAKTA pada edisi yang lalu. Ayat ini bukan ayat setan yang memicu kriminalitas, melainkan syariat jinayat yang menetapkan hukum yang adil terhadap tindakan kriminal (kezaliman) Ayat lain yang dituduh sebagai ayat setan adalah surat At-Taubah 5 tentang perintah untuk memerangi kaum musyrikin

. Kata “perang” dalam ayat inilah yang dijadikan dasar tudingan sebagai ayat setan. Benarkah demikian? Secara umum, ditilik dari situasinya, ayat-ayat Al-Qur’an ada dua kategori, yaitu: pertama ayat yang berkaitan dengan situasi perang dan kedua, ayat yang berkenaan dengan situasi damai. Pengkategorian dua situasi ini sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam situasi damai, Allah SWT menetapkan aturan damai, baik dan adil:
 
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (Qs. Al-Mumtahanah 8).

Sementara dalam situasi perang, Allah memberlakukan syariat perang terhadap musuh yang terlebih dahulu melancarkan peperangan:

 “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (Qs. Al-Mumtahanah 9).

Berdasarkan firman Allah SWT tersebut, maka ayat-ayat yang berkaitan dengan situasi damai harus diterapkan dalam situasi damai, jangan diberlakukan pada situasi perang. Sebaliknya, ayat-ayat yang berkaitan dengan situasi perang harus diperlakukan dalam situasi perang, jangan diberlakukan dalam situasi damai. Ayat lain yang dituding sebagai dasar untuk menuding Islam sebagai agama perang adalah surat
Al-Baqarah 193: “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah…” Ayat yang berbicara dalam konteks perang ini tidak bisa dipisahkan dari ayat-ayat sebelumnya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (Qs. Al-Baqarah 190).

 Secara tegas ayat ini bicara dalam situasi perang terhadap kaum musyrikin Makkah, bahwa Allah SWT memerintahkan perang dengan dua aturan:
 pertama, orang yang diperangi itu terlebih dahulu memerangi kita. Dengan kata lain, perang membela diri. Kedua, dilarang melampaui batas (berlebih-lebihan) dalam berperang. Berkaitan dengan etika kedua ini, Rasulullah SAW bersabda:
“Berperanglah di jalan Allah. Perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah tapi jangan mengambil harta rampasan secara diam-diam, jangan melanggar janji, jangan melakukan penyiksaan, jangan membunuh anak-anak dan jangan pula membunuh para penghuni rumah ibadah” (HR Muslim)
. At-Thabari dalam Jami’ul Bayan fi Ta’wil Aayin min Al-Qur’an, Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran Al-Adhim, As-Syaukani dalam Fathul Qadir ketika menafsirkan ayat tersebut, menjelaskan bahwa orang yang memerangi kita, harus kita perangi. Terhadap orang-orang yang tidak memerangi kita, jangan kita perangi. Dan apabila orang-orang yang memerangi kita itu berhenti, maka kita pun tidak boleh memerangi mereka. Ayat ini merupakan ayat pertama yang diwahyukan berkaitan dengan perintah perang, tetapi terbatas hanya kepada orang yang memerangi kita. Prof KH Mustafa Yakub dalam buku Kerukunan Umat dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits menjelaskan sbb: “Jadi boleh kita memerangi orang-orang kafir? Bukan hanya boleh, tapi wajib bagi kita memerangi orang-orang kafir yang memerangi kita. Tetapi orang-orang kafir yang tidak memerangi kita, tidak boleh kita perangi. Orang kafir itu ada dua kategori, yaitu: kafir harbi yang harus diperangi karena memerangi kaum muslimin, dan kafir dzimmi atau mu’ahad yang harus dilindungi,

karena Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang membunuh kafir mu’ahad, maka ia tidak akan mencium aroma surga…” (HR Bukhari).

Jadi, umat Islam tidak boleh seenaknya membunuh orang non muslim. Nampaknya, penulis diktat yang tak berani mencantumkan identitas aslinya itu sangat alergi terhadap kata “perang,” sehingga segala yang berbau perang dinilai sebagai kejahatan atau setan, tanpa melihat konteksnya. Padahal dalam Alkitab (Bibel), kitab sucinya sendiri, ayat-ayat perang dalam bentuk yang sadis bertebaran dalam banyak ayat, antara lain: untuk membalas perlakuan orang Amalek kepada orang Israel, Tuhan memerintahkan untuk membunuh dan menumpas segenap rakyat tanpa rasa belas kasihan, dengan mata pedang, baik laki-laki, perempuan, anak menyusui, maupun binatang ternak  (1 Samuel 15:1-11);
 perintah Tuhan dalam peperangan, tumpaslah semua yang bernafas jangan tersisa sama sekali (Ulangan 20:1-20); Tuhan memuji pembantaian massal dan penyembelihan 30 orang dengan meletakkan kepala mayat di dalam keranjang, sebagai perbuatan yang benar di mata-Nya (2 Raja-raja 10:7-30); dll.
Jika perintah perang Al-Qur’an untuk membela diri dihakimi sebagai ayat setan, lantas ayat-ayat pembantaian massal dalam Bibel yang amat sadis ini harus disebut apa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar