Sabtu, 28 April 2012

MENJAWAB TUDUHAN TENTANG HADIST MENYUSUI ORANG DEWASA


Bismillahirrohmanirrohim.... 

Tudingan bahwa Nabi pernah menyuruh Sahlah binti Suhaili, istri Hudzaifah, yakni Salim, padahal ia sudah dewasa merupakan ajaran yg tercela. Dan Aisyah juga berpendapat bahwa hal ini bersifat umum (seperti yg disebutkan dalam Kitab Sunan Abu Dawud). Buktinya ia selalu menyuruh kemenakan-kemenakna perempuannya untuk menyusui siapapun yg yg ingin bertemu dengannya, apabila orang itu sudah dewasa maka harus disusui sebanyak lima kali.

Kisahnya adalah sebagai berikut, Abu Hudzaifah pernah memiliki hamba sahaya yang bernama Salim, lalu Abu Hudzaifah memberi kehormatan kepada Salim dengan menjadikannya sebagai anak angkat. Kemudian setelah Salim tumbuh menjadi orang dewasa, ia mengalami kesulitan berinteraksi kepada dengan Sahlah, karena Salim bukanlah mahram Sahlah, mereka tidak bebas bertemu walaupun satu atap (Sahlah harus selalu mengenakan jilbabnya, dan Abu Hudzaifah pun merasa kurang senang dengan keadaan tersebut. Akhirnya Sahlah menghadap Nabi, dan meminta petunjuk dari beliau, lalu Nabi berkata:"Susuilah ia, maka kamu akan menjadi mahramnya."

Tentang pendapat Aisyah, bahwa hal itu bersifat umum dengan bukti bahwa ia selalu menyuruh kemenakan-kemenakan perempuannya untuk menyusui siapapun yg yg ingin bertemu dengannya, apabila orang itu sudah dewasa maka harus disusui sebanyak lima kali, jumhur ulama berpendapat bahwa kisah Salim itu hanya dikhususkan bagi dirinya saja, tidak untuk orang lain, dan kisah tersebut tidak dapat dijadikan dalil untuk memperbolehkan penyusuan orang dewasa.

Al-Hafizh Ibnu Abdi Al-Barr menegaskan: Abu Malikah yang tidak menyampaikan hadist ini selama satu tahun memberi tanda bahwa hadist ini telah lama di tinggalkan dan tidak pernah di kerjakan lagi. Jumhur ulama memandang bahwa hadist ini tidak untuk secara umum, mereka menganggap hadist ini hanya dikhususkan bagi Salim saja.(Kitab Syarhu az-Zarqani ala Al-Muwathatha 3/292).

Setelah menyebutkan hadist ini, Al-Hafizh ad-Dharimi juga mengatakan dalam kitab sunannya:"Hadist ini dikhususkan bagi Salim seorang."

Pendapat yang sama juga disebutkan pada riwayat-riwayat lainnya. Salah satunya adalah riwayat yang disebutkan oleh Imam Muslim, dari Ummu Salamah, ia berkata:"Seluruh istri-istri nabi menolak untuk menggunakan hukum penyusuan bagi kaum pria yang ingin bertemu dengan mereka. Lalu mereka berkata kepada Aisyah: Demi Allah, kami hanya melihat hukum itu sebagai keringanan dari Nabi yang khusus diberikan kepada Salim. Karena itulah kami tidak ingin seorangpun bertemu dan melihat kami dengan menggunakan hukum itu."

Dengan demikian maka yang dilakukan oleh Aisyah (jika memang atsar itu shahih) tidak lain adalah ijtihad (pendapatnya pribadi) saja, sedangkan yang dipahami dan dilakukan oleh para sahabat dan istri-istri Nabi lainnya bertolak belakang dengan Ijtihad tersebut.

Para ulama memandang bahwa makna yang nyata dari hukum keringanan penyusuan pada Salim adalah keringanan untuk dirinya seorang, tidak untuk orang lain. sedangkan makna dari riwayat Aisyah kemungkinan besar adalah: apabila Aisyah memiiki firasat baik pada seorang bayi dan ia ingin agar anak itu nanti dapat bebas bertemu dengannya setelah dewasa nanti, maka ia menyuruh kemenakan-kemenakan perempuannya untuk menyusui mereka selagi mereka masih bayi, sehingga setelah mereka dewasa nanti mereka dapat bebas bertemu dengan Aisyah (sebagai bibi dari ibu susu mereka).

Pasalnya pendapat inilah yang dipilih oleh sebagian besar para istri Nabi, sebagian besar para sahabat, dan jumhur ulama. Makna itulah yang dapat dipahami dari dalil yang nyata yang bersebelahan dengan makna hadist Sahlah binti Suhail. Kalau seandainya hukum menyusui itu mutlak untuk semua orang (tidak hanya untuk para bayi yang kurang dari 2 tahun), maka hukum itu tentu akan banyak diketahui dan diikuti oleh para sahabat dan ulama salaf, mereka juga meriwayatkan pendapat yg sama dari berbagai sanad.

Para musuh Islam memahami sabda Nabi "susuilah," dengan pemahaman yang keliru. Mereka mengira bahwa penyusuan pasti dilakukan dengan menyentuh payudara, higga muncullah pemahaman seperti itu. Penjelasan terbaik untuk masalah ini diutarakan oleh
Imam Nawawi dalam kitabnya Syarh Sahih Muslim (10/13):Al-Qadhi mengatakan: " Sahlah mengeluarkan air susunya terlebih dahulu, barulah setelah itu diminum oleh Salim, sehingga Salim tidak perlu menyentuh apapun dan kulit tubuh mereka tidak ada yang bersentuhan, karena tidak halal seorang laki-laki melihat organ susu seorang wanita yang bukan mahramnya atupun menyentuhnya."


Abu Umar mengatakan: Metode menyusui seorang pria dewasa adalah dikeluarkan air susu ibunya terlebih dahulu, kemudian ia meminumnya dari tempat lain. Dan tidak satupun ulama yang memperbolehkan pria dewasa disusui secara langsung oleh ibu susuannya. Dan pendapat inilah yang diunggulkan oleh Al-Qadhi dan Imam An-Nawawi. (Kitab Syarhu Az-Zarqani 3/316). Dalam Kitab Tabaqat Al-Kubra, Ibnu Sa'ad menyebutkan sebuah riwayat, dari Muhammad bin Abdillah bin Az-Zuhri, dari ayahnya, ia berkata: (Ketika Sahlah ingin memberikan air susunya kepada Salim) Sahlah menuangkan air susunya pada sebuah wadah, lalu Salim meminum air susu tersebut dari tempatnya setiap hari. Setelah lima hari Salim meminum susu tersebut dari tempatnya setiap hari. Setelah lima hari Salim meminum susu itu maka ia diperbolehkan untuk bertemu Sahlah walaupun Sahlah tanpa menggunakan tutup kepala (jilbab), sebagai keringanan yang diberikan Nabi kepada Sahlah. (Kitab Thabaqat Al-Kubra 8/271 dan Kitab Al-Ishabah karya Ibnu Hajar 7/716).
Kemudian juga, hadist tentang Sahlah sama sekali tidak memuat kata-kata menyentuh atau secara langsung, oleh karenanya penuding tidak berhak untuk mengatakan bahwa yang mereka lakukan saat itu adalah perbuatan dosa. Apakah jika kita meminum susu sapi atau susu kambing maka kita harus meminumnya secara langsung atau menyentuh sapi terlebih dahulu? Kemudian juga, salah satu alasan Sahlah mengadu kepada Nabi berkaitan dengan kecemburuan Abu Hudzaifah terhadap Salim yang masuk kedalam rumahnya, padahal Salim bukanlah mahram dari Sahlah. Hanya dengan masuknya Salim ke dalam rumahnya saja Abu Hudzaifah sudah cemburu, maka bagimana mungkin ia memperbolehkan Sahlah untuk menyusui Salim secara langsung?

Jangankan menyentuh seperti itu, hanya bersalaman saja Nabi sudah mengharamkannya, karena beliau pernah bersabda:

"Tertusuknya kepala kamu dengan paku akan lebih baik bagi kamu daripada kamu menyentuh wanita yang tidak dihalalkan bagimu (bukan mahram)."(Kitab Shahih Al-Jami':5045).

"Sesungguhnya aku tidak (pernah dan tidak akan pernah) bersalaman dengan kaum wanita (asing yang bukan mahramku)."(Kitab Shahih Jami':5213)
Bagaimana mungkin nabi memperbolehkan Salim untuk menyentuh bagian tubuh Sahlah tatkala beliau memerintahkan Sahlah menyusui Salim, padahal beliau mengharamkan kaum pria untuk menyentuh tangan wanita yang bukan mahramnya?

Lalu apabila seorang anak kecil yang minum air susu ibu tanpa mnyentuh mengisapnya dari payudara ibunya secara langsung, jumhur ulama berpendapat anak itu dikategorikan sebagai anak susuan dan harus mengikuti hukum-hukum penyusuan. Selama seorang anak kecil yang meminum susu tanpa mengisapnya dari payudara secara langsung tetap dikategorikan sebagai anak susuan, maka seharusnya orang dewasa yang melakukannya seperti itu lebih layak untuk ditetapkan hukum-hukum penyusuan baginya.

Seorang ulama ilmu Nahwu, Ibnu Qutaibah Ad-Dinuri pernah mengomentari hadist tersebut. Ia mengatakan: nabi hendak memahramkan Salim dan Sahlah, beliau juga ingin mempersatukan mereka dalam satu rumah tanpa ada rasa canggung diantara mereka, dan beliau juga mau menghilangkan rasa cemburu pada diri Abu Hudzaifah sekaligus merasa senang dengan keberadaan Salim dirumahnya. Nabi berkata:"Susuilah ia" namun Nabi tidak mengatakan :Letakkan payudaramu dimulutnya." Beliau tidak mengatakan hal itu karena yang beliau inginkan adalah:"Keluarkanlah air susumu pada suatu tempat, lalu berikanlah kepadanya agar ia dapat meminumnya.: Inilah makna yang sebenarnya, tidak ada dan tidak boleh dimaknai dengan interpretasi yang lain. Pasalnya Salim tidak di perbolehkan untuk melihat bagian tubuh Sahlah sebelum ditetapkan baginya hukum penyusuan, maka bagaimana mungkin ia di perbolehkan untuk berbuat sesuatu yang diharamkan baginya (meminumnya secara langsung), atau berbuat sesuatu yg tidak dapat dijamin syahwatnya akan terjaga? (Kitab Ta'wil Mukhtalaf Al-Hadist karya Ibnu Qutaibah hal.308-309).

Keputusan Nabi itu adalah rahmat yang diberikan beliau kepada Sahlah dan anak angkatnya, karena di antara mereka pasti ada kasih sayang antara ibu dan anak. Salim di asuh Sahlah sejak kecil, maka tentu Sahlah sudah menganggap Salim sebagai anaknya sendiri, dan Salimsudah menganggap Sahlah sebagai ibunya sendiri. Sulit bagi Salim ataupun bagi Sahlah untuk dipisahkan. Apalagi usia sahlah semakin lama semakin menua, tentu ia dan suaminya membtuhkan anak muda seperti Salim untuk membantu mereka.

Adapun bagi mereka yang merasa aneh dengan perintah Nabi kepada Sahlah agar ia menyusui anak angkatnya sebelum dimahramkan, sebaiknya membaca lagi kitab suci mereka yang menyebutkan secara zalim bahwa Allah memerintahkan untuk berbuat zina. Berfirmanlah Ia kepada Hosea:"Pergilah, kawinilah seorang perempuan sundal dan peranakkanlah anak-anak sundal, karena negeri ini bersundal hebat karena membelakangi Tuhan."(Hosea_1:2-3)

Dan Alkitab juga menyebutkan:

Amsal_5:
(18) Diberkatilah kiranya sendangmu, bersukacitalah dengan isteri masa mudamu:
(19) rusa yang manis, kijang yang jelita; biarlah buah dadanya selalu memuaskan engkau, dan engkau senantiasa berahi karena cintanya.

Kidung Agung_8:
(8) Kami mempunyai seorang adik perempuan, yang belum mempunyai buah dada. Apakah yang akan kami perbuat dengan adik perempuan kami pada hari ia dipinang?

Amos_7:
(17) Sebab itu beginilah firman TUHAN: Isterimu akan bersundal di kota, dan anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan tewas oleh pedang; tanahmu akan dibagi-bagikan dengan memakai tali pengukur, engkau sendiri akan mati di tanah yang najis, dan Israel pasti pergi dari tanahnya sebagai orang buangan."

Yesaya_3:
(16) TUHAN berfirman: Oleh karena wanita Sion telah menjadi sombong dan telah berjalan dengan jenjang leher dan dengan main mata, berjalan dengan dibuat-buat langkahnya dan gemerencing dengan giring-giring kakinya,
(17) maka Tuhan akan membuat batu kepala wanita Sion penuh kudis dan TUHAN akan mencukur rambut sebelah dahi mereka.

Hakim-hakim_16:
(1) Pada suatu kali, ketika Simson pergi ke Gaza, dilihatnya di sana seorang perempuan sundal, lalu menghampiri dia.
Padahal menurut kitab suci mereka Simon itu adalah seorang Nabi, seperti disebutkan pada dalil berikut: "Lalu pergilah Simon beserta ayahnya dan ibunya ke Timna. Ketika mereka sampai ke kebun-kebun anggur di Timna, maka seekor singa muda mendatangi Simon dengan mengaum. Pada waktu itu berkuasalah Roh Tuhan atas dia."

Sebagai penutup, mari kita katakan kepada orang yg bersenandung dan mendendangkan tudingan diatas: sesungguhnya yang tidak dapat diterima oleh akal sehat dan juga tidak di akui oleh syariat adalah dugaan kalian bahwa Tuhan menyusu dari payudara seorang wanita, seperti disebutkan dalam Alkitab:

Lukas_11:
(27) Ketika Yesus masih berbicara, berserulah seorang perempuan dari antara orang banyak dan berkata kepada-Nya: "Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau.

Wallahu a'lam bishowab....
Baca Selengkapnya...

Rabu, 25 April 2012

Allah / Eloah atau Elohim / Yahweh ?


bantahan atas tuduhan Dr Robert Morey yang menyatakan bahwa Allah adalah nama dewa bulan. Justru kata “Elohim” yang menurutnya adalah nama Tuhan yang sebenarnya, adalah kata yang telah rusak dari bahasa aslinya. Sekarang kita akan menguji keaslian bahasa. 

Menguji Keaslian Bahasa
Menurut Alkitab (Bibel), dalam usia lanjut Ibrahim memiliki seorang anak, Ismail, yang kemudian menurunkan bangsa Arab yang jumlah komunitasnya sangat besar, sebagaimana yang pernah dijanjikan oleh Allah kepada Hagar (Hajar): 
“Lagi pula kata malaikat Tuhan itu kepadanya: “Aku akan membuat sangat banyak keturunanmu, sehingga tidak dapat dihitung karena banyaknya” (Kejadian 16: 10) 

“Tentang Ismail, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas raja, dan Aku akan membuatnya menjadi bangsa yang besar” (Kejadian 17: 20) 

Setelah Ismail berusia 14 Tahun, Ibrahim memiliki anak lagi bernama Ishak dari istri pertamanya, Sarah. Ishak mempunyai dua putra bernama, Esau dan Yakub. Dan Yakub memiliki dua belas anak di antaranya adalah Yusuf dan lain-lain yang di kemudian hari menurunkan 12 suku bangsa Israel. 

Karena disingkirkan oleh saudara-saudara­nya, Yusuf tinggal di Mesir. Di negeri asing ini Yusuf bisa meraih jabatan penting, di saat tanah kelahirannya mengalami paceklik yang ber­kepanjangan. Yakub dan anak-anaknya emigrasi ke Mesir hingga keturunan mereka, bangsa ­Israel, menetap di Mesir selama ratusan tahun. 

Selama ratusan tahun ini, keturunan Ishak dan Yakub mengalami asimilasi budaya dan bahasa. Sehingga perbendaraan kata bahasanya cenderung menjauh dari bahasa yang dipakai oleh nabi Ibrahim, Ismail, Ishak, dan Yakub. 

Sedangkan ketu­runan Ismail (yang akhir­nya kemu­dian disebut bangsa Arab), karena tidak pindah kemana-mana, bahasanya masih asli atau setidak-tidaknya paling mendekati dengan bahasa yang dipakai oleh nabi Ibrahim, Ismail, Ishak dan Yakub. 

Nabi Musa dibesarkan di Istana Firaun yang membenci dan menindas bangsa Israel yang hidup di negerinya. Hal ini membuat Musa tidak leluasa bergaul dengan bangsanya sendiri. Setelah membunuh orang Mesir, Musa lari Madyan (Midian) dan tinggal di rumah nabi Sueb atau Jetro (keturunan Ismail) selama minimal 7 tahun, lalu menikahi putri nabi itu. Dengan demikian Musa lebih lancar memakai bahasa keturunan Ismail daripada menggunakan bahasa bangsanya, Israel. Oleh karena itu ada dua kemungkinan mengapa Musa meminta kepada Allah agar nabi Harun mendampinginya untuk meng­komunikasikan maksudnya kepada bangsa Israel: 

a. Lidahnya cedal karena sewaktu kecil Musa pernah menjilat api.
b. Kurang terbiasa dengan bahasa Ibrani yang dipakai oleh bangsanya sendiri. 

Setelah nabi Sulaiman wafat, bangsa Israel terbelah dua: kerajaan Israel utara beribukota di Samaria, dan Israel selatan (Yehuda) beribukota di Yerusalem. Setiap tahun bangsa Israel harus berkumpul untuk melakukan ibadah nasional di Yerusalem. Karena masalah politik, raja Israel utara melarang rakyatnya berziarah ke Israel selatan, dan mendirikan pusat peribadatan baru di Betel serta Dan. Patung-patung emas anak lembu ditaruh di tempat ibadah itu. Mulanya patung-patung itu tidak dimaksudkan sebagai lambang Tuhan, melainkan hanya sebagai pengalas tahta-Nya. Tetapi rakyat Israel utara kemudian menghubungkan dengan kultus kesuburan yang secara luas terdapat di Palestina pada masa itu. Banyak penduduk Israel utara yang berasal dari keturunan Kanaan masih kuat menganut dan mempraktikkan ibadah (kultus) kesuburan tersebut, dan pada akhirnya rakyat Israel utara jatuh dalam penyembahan kepada berhala. Penulis kitab Raja-raja selalu menyebut-nyebut kesalahan Yerobeam, raja Israel Utara, membuat patung-patung anak lembu emas ini sehingga rakyat Israel terlibat dalam peribadatan palsu itu. 

Pertikaian keagamaan yang serius berkisar pada penyembahan terhadap Baalim atau para Baal. Pertikaian ini mencapai puncaknya di masa raja Ahab di Israel utara, namun melibatkan Yehuda juga Israel selatan. Kata ‘Baalim’ (jamak dari kata Ibrani ‘Baal’ yang berarti ‘tuan’ atau ‘pemilik’) adalah sebutan bagi dewa-dewi kesuburan, yang dianggap berkuasa atas panen, ternak dan manusia. Para penyembah Baalim percaya, dewa ini mati menjelang musim panas dan bangkit lagi menjelang musim hujan. Ini menjelaskan mengapa tumbuhan mati kering pada puncak musim panas, dan bertunas lagi serta berdaun pada musim hujan. 

Dari kerajaan utara ini, bangsa Israel yang sebelumnya terbiasa dengan kata ‘Eloha’ atau ‘Eloah” (Allah) kemudian menyebutnya menjadi ‘Elohim’ (jamak dari kata Eloah) disesuaikan dengan banyaknya sesembahan mereka, Baal - Baalim.
Bagi Israel Ibadah ini mengandung dua bahaya:

a. Ibadah ini dapat membuat mereka berpaling dari Allah, atau setidak-tidaknya membuat mereka berpendapat bahwa Allah adalah salah satu penampakan dewa Baal.
b. Ibadah ini membuat mereka tidak taat kepada Allah. Sebab penyembahan kepada dewa Baal ini mencakup praktik perzinaan yang dilakukan di kuil-kuil para dewa, dan berbagai bentuk perilaku seksual yang bertentangan dengan Taurat yang telah diberikan oleh Allah kepada bangsa Israel. Tetapi banyak dari rakyat biasa merasa terpaksa memuja dewa-dewi ini, sebab mereka yakin bahwa Baalim mem­berikan kesuburan bagi hasil tanah, ternak dan keluarga mereka. 

Pada Bibel kitab Yeremia 52: 28-20 menye­butkan adanya tiga kali pembuangan bangsa Yehuda yang dilakukan oleh Babilonia. Pembuangan pertama tahun 597 SM, kedua tahun 587 SM, dan yang ketiga tahun 582 SM. 

Saat pembuangan ketiga, masih ada penduduk yang dibiarkan tinggal di Yehuda, karena dari segi keahlian dan keterampilan mereka masih dianggap kurang, sehingga tidak perlu ikut ke Babilon. Sebagian besar para pemimpin dan pemuka agama ditawan di Babel, dan sebagian kecil saja yang bisa meloloskan diri. 

Semangat orang-orang Yahudi di pem­bua­ngan sangat rendah, sekalipun para pemimpin mereka menganjurkan untuk melaksanakan praktik agama meskipun jauh dari Yehuda. Kota Yerusalem sebagai pusat ibadah mereka telah di­hancurkan tentara Babilonia, dan tidak ada tempat yang dapat mengganti peranannya. Kaum buangan Yehuda di Babilonia menghadapi kesukaran besar. Meskipun mereka ingin menyembah Allah, tetapi banyak tatacara ibadah mereka tidak mungkin dapat dilaksanakan di Babilon. Sedang-kan rakyat Babilonia saat itu menyembah dewa ‘Marduk’ yang dipercayai sebagai perwujudan dari dewa Matahari. Mereka menyebutnya ‘Bel’ yang berarti ‘Tuhan’ dan nama inilah yang digunakan dalam beberapa nas Alkitab seperti dalam Yesaya 46: 1, Yeremia 50: 2 dan 51: 44. 

Saat itu Israel betul-betul mengalami krisis agama, karena tidak ada lagi tempat khusus di mana pemikiran dan tatacara keagamaan dapat dilaksanakan secara tepat dan bermakna. Karena itu timbul desakan yang kuat untuk mengusahakan cara ibadah baru serta keimanan yang baru pula, dan nama Tuhan Eloha (Allah) diganti YHWH (Yahweh). Perkembangan yang baru ini mungkin tepat dikatakan sebagai awal ‘Yudaisme’, dan sejak itu kita menyebut orang-orang Israel yang berada di pembuangan dengan nama ‘orang-orang Yahudi.’ 

Sekitar tahun 539 SM, Raja Persia, Koresy, melancarkan serangan ke Babilonia dan berhasil menguasai kota Babilonia tanpa perlawanan dari penduduknya. Bahkan sebaliknya, dia disambut sebagai pahlawan besar dan seorang hamba dewa Marduk. Orang-orang Yahudi diperbolehkan oleh penguasa Persia ini untuk kembali ke Yehuda. 

Meskipun sebagian berhasil memper­tahankan adat dan agama Yahudi, banyak pula melakukan asimilasi keturunan, bahasa, budaya dan agama. Sehingga di masa Ezra (nabi Uzair) dan Nehemia membawa mereka kembali ke Yehuda, sebagian besar dari mereka tidak bisa berbahasa ibunya sendiri (Ibrani), dan tradisi mereka tersapu oleh kebiasaan Babilonia. Tragedi ini mendorong Ezra untuk menerjemahkan Taurat Musa kedalam bahasa Aram. 

Kitab Nehemia 8: 1-3 menceritakan pembaca­an hukum Taurat untuk pertama kalinya di depan umum. Hukum Taurat pada saat itu harus diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke Bahasa Aram yang menjadi bahasa pergaulan di masa itu baik di Yehuda maupun di seluruh kerajaan Persia (Nehemia 8: 8). 

Kita tidak mengetahui secara tepat bagian manakah kitab hukum Taurat yang telah dibaca oleh Ezra. Tetapi kemudian orang-orang Yahudi menyebut kelima kitab pertama dalam Perjanjian Lama dengan sebutan ‘Taurat’. Kitab-kitab itu sendiri baru diakui secara resmi sebagai kitab suci kurang lebih lima puluh tahun kemudian. Pada waktu itu mereka yang tidak pernah ikut mengalami pembuangan tidak diakui sebagai orang Yahudi yang benar. Mereka memisahkan diri dari persekutuan keagamaan umat Israel yang resmi, lalu membentuk perkumpulan agama yang baru disebut ‘orang-orang Samaria.’ 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Allah atau Eloah adalah nama Tuhan yang disembah oleh nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad dan umat Islam sekarang ini. 

Para nabi ini samasekali tidak akan mengenal istilah “Elohim dan Yahweh. Bahkan nabi Isa (Yesus) sendiri tidak mengenal Yesus Kristus, atau dia akan bengong tak mengerti kalau dia dipanggil Yesus. 

Oleh karena itu Allah menaruh firman-Nya di bawah ini pada Al-Qur‘an surat Yusuf: 

“Sesungguhnya Allah menurunkan Al-Qur`an kepada Muhammad dengan bahasa Arab, agar kamu berpikir” (Qs. Yusuf 2). 

Setelah ayat ini Allah menceritakan nabi Yusuf di Mesir dan emigrasi keluarga nabi Yakub ke negeri tersebut. Di saat di negeri Firaun itulah bahasa Semit sebagai bahasa sehari-hari nabi Ibrahim, Ismail, Ishak dan Ya’kub mengalami asimilasi dengan bahasa Mesir selama ratusan tahun. 

Sedangkan keturunan Ismail karena tidak beremigrasi dan tidak pergi ke mana-mana, bahasanya lebih mendekati kepada keasliannya.
Baca Selengkapnya...

Sabtu, 21 April 2012

Interaksi Dengan Al-Quran Di Bulan Ramadhan






﴿ الحال مع القرآن في رمضان ﴾

]  Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي


Dr. Musâ'id at-Thayyâr





Terjemah : Syafar Abu Difa
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad





2010 - 1431





﴿ الحال مع القرآن في رمضان ﴾
« باللغة الإندونيسية »

د / مساعد الطيار




ترجمة: شفر أبو دفاع
مراجعة: إيكو هاريانتو أبو زياد 






2010 - 1431


Interaksi Dengan Al-Quran Di Bulan Ramadhan


Segala puji bagi Allah -subhanahu wata'âla- yang berfirman dalam kitab-Nya:

"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah: 185)
Dan firman-Nya -ta'âla-:"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul." (QS. Ad-Dukhan: 3-5)
Juga firman-Nya -subhanahu wata'âla- :
 
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan." (QS. Al-Qodar: 1)
Salawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasul yang mulia, yang Allah khususkan dengan wahyu dan kitab-Nya. Sabdanya -shalallah alaihi wasalam-:
 (( خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ ))
"Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Quran dan mengajarkannya."
[HR. al-Bukhari no. 2057, at-Turmudzi no. 2154, Ahmad 420 dan Abu Dawud no. 1454]
Salawat juga tercurah kepada ahlulbait (keluarga Nabi) yang suci, kepada para sahabatnya yang berbakti dan pilihan serta kepada Tabi'in yang meneladani pendahulu mereka siang dan malam.
Adapun selanjutnya,
Sungguh Allah telah mengkhususkan bulan yang mulia ini dengan kekhususan-kekhususan, di antaranya:  ia adalah bulan yang paling utama dari bulan-bulan lain sepanjang tahun, terdapat malam lailatul qodar, pada bulan ini diturunkan al-Quran. Turunnya al-Quran baik secara al-Jumali (keseluruhan) dan al-ibtidai (permulaan) terjadi pada malam lailatul qodar.
Turunnya al-Quran secara al-Jumali (keseluruhan) telah dijelaskan oleh Ibnu Abbas (wafat 68 H) -radiallahu'anhu-:
"Allah menurunkan al-Quran secara sekaligus ke langit dunia pada malam lailatul qodar di bulan Ramadhan. Jika Allah ingin menyampaikan sesuatu   ke dunia, diturunkanlah (ayat-ayat itu) dari langit dunia hingga terkumpul seluruhnya."
Inilah riwayat yang valid dari beberapa riwayat Ibnu Abbas.
Sedangkan turunnya al-Quran secara ibtidai (fase pertama)[1], adalah pernyataan as-Sya'bi (wafat 103 H) yang menguatkan lahiriah ungkapan al-Quran dalam firman Allah -ta'âla-:
"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)." (QS.al-Baqarah: 158)
Dan firman-Nya -ta'âla-:

"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan." (QS. Ad-Dukhan: 3-5)
Petunjuk bagi manusia dan keterangan petunjuk itu serta peringatannya terdapat dalam al-Quran yang diturunkan kepada Muhammad -shalallah alaihi wasalam-.
Turunnya al-Quran secara al-jumali dan ibtidai tidaklah saling bertentangan. Yang dimaksud pada ayat-ayat di atas adalah keduanya sekaligus, yang menunjukkan akan turunnya keduanya. Tidak ada pertentangan antara keduanya tidak pula saling bertolak belakang.
Kedua pendapat di atas jika benar penafsirannya, memang mengandung kedua pengertian itu dan tidak saling bertentangan. Boleh memaknai ayat-ayat tersebut sebagaimana yang telah ditetapkan oleh ulama.
Yang jelas bahwa hubungan antara al-Quran dan bulan Ramadhan nampak jelas pada ayat-ayat tersebut, sehingga bulan menjadi mulia dengan turunnya al-Quran ketika itu. Karena itulah dinamakan dengan "bulan al-Quran".

Keadaan Manusia Dalam Membaca Al-Quran
Timbul pertanyaan sebagian orang tentang mana yang lebih utama apakah membaca al-Quran dengan tadabur atau membacanya dengan sepintas agar banyak bacaannya dan sering khatam sehingga beroleh pahala bacaan?
Sesungguhnya kedua cara ibadah tersebut tidaklah berlawanan, tidak pula saling mengurangi waktu yang lain sehingga perlu ditanyakan mana yang lebih utama. Dalam hal ini kembali kepada pembacanya, dan mereka itu terbagi beberapa kategori:
Kategori pertama: orang awam yang tidak bisa bertadabur (merenunginya). Bahkan tidak paham sebagian besar ayat-ayatnya. Tidak diragukan bahwa bagi mereka yang lebih utama adalah memperbanyak bacaan.
Memperbanyak bacaan senyatanya dianjurkan untuk memperbanyak pahala bacaan sebagaimana yang terdapat dalam hadits:
(( لاَ أَقُولُ "الم"َحرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ ))
"Tidak aku katakan alif lâm mîm sebagai satu huruf, tetapi alif satu huruf, lâm satu huruf dan mîm satu huruf".
[HR. at-Turmudzi no. 3158, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wat-Tarhib no. 1416]

Kategori kedua: ulama dan penuntut ilmu. Mereka memiliki dua cara dalam membaca al-Quran:
Pertama: seperti cara orang awam, tujuannya untuk memperbanyak pahala dengan banyaknya bacaan dan khataman.
Kedua: membaca dengan maksud mempelajari makna-makna al-Quran, tadabur dan istinbat (pendalilan). Masing-masing sesuai dengan spesialisasinya. Akan nampak jelas baginya apa-apa yang tidak jelas bagi orang lain. Yang demikian adalah keutamaan Allah -ta'âla- yang diberikan pada siapa yang dikehendaki-Nya.
Kembali saya katakan: kedua jenis bacaan ini masuk tanawu'ul a'mal (variasi amal) dalam syari'at, keduanya dianjurkan secara bersamaan. Tidak ada pertentangan sehingga harus dipilih mana yang lebih baik. Tetapi setiap variasi ada waktunya tersendiri, terkait dengan keadaan pembacanya.
Tidak diragukan bahwa kepahaman lebih utama dari ketidakpahaman. Oleh karena itu sebagian ulama menyerupakan mereka yang membaca satu ayat al-Quran dengan bertadabur seperti mempersembahkan batu mulia, sedangkan yang membaca seluruh al-Quran tanpa bertadabur seperti mempersembahkan dirham (uang) yang banyak, tentu tetap tidak bisa mencapai limit apa yang dipersembahkan orang pertama.

Hal-hal yang semestinya diingatkan berkaitan dengan bacaan (tilawah) al-Quran di bulan Ramadhan:
Perkara pertama:
Seseorang hendaknya mengenali dirinya. Manusia tidak sama keadaannya dalam beribadah. Tetapi amat merugilah seorang muslim jika Ramadhan berlalu tetapi belum mengkhatam al-Quran. Sunah ini adalah sunah Jibril -alaihissalam- dalam muroja'ah (mengaktualkan ingatan) al-Quran di bulan Ramadhan bersama Rasulullah -shalallah alaihi wasalam-. Ia juga merupakan sunah kaum muslimin sejak masa Rasulullah -shalallah alaihi wasalam-.
Yang menjadi perhatian, bahwa kebanyakan manusia bersemangat di awal bulan dalam melakukan kebaikan, termasuk tilawah (membaca) al-Quran. Akan tetapi begitu cepat futur (down) setelah beberapa hari berikutnya. Terlihat menurun dari amal yang telah dilakukannya di awal.
Karenanya, siapa yang biasanya demikian, yang lebih utama baginya adalah mengatur bacaannya, mengkhususkan setiap hari satu juz. Dengan demikian dia akan mengkhatam al-Quran sekali di bulan ini. Seandainya dapat terus dengan cara itu, dia akan dapat melakukannya di setiap bulan selama setahun. Perkaranya kembali kepada kesungguhan dan kontinuitas.
Seandainya setiap muslim mengkhususkan untuk membaca empat halaman setiap waktu dari waktu-waktu shalat yang lima waktu, maka dalam sehari dia akan membaca dua puluh halaman. Ini sama dengan satu juz pada mushaf yang ditulis lima belas baris setiap halamannya, seperti mushaf madinah an-nabawiah.
Dengan cara ini dia dapat melakukan amal dari amal kebaikan tanpa terputus. Sebagaimana yang disabdakan Nabi -shalallah alaihi wasalam-.
(( أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ ))
"Amal yang paling dicintai Allah adalah yang berkesinambungan sekalipun sedikit."
 [HR. al-Bukhari no.5861, Muslim no.1861. dan ini lafal Ahmad 27061, 27097]

Perkara kedua:
Amat baik bagi siapa yang membaca al-Quran -secara umum- atau yang membacanya di bulan Ramadhan -secara khusus- untuk memiliki tafsir mukhtashar (tafsir singkat) agar tahu makna yang telah dibacanya. Yang demikian lebih terasa ketika membaca dan sensitif dengan rasa bacaan. Orang yang mengerti tidak sama dengan yang tidak mengerti.
Begitu pentingnya perkara ini, tapi engkau dapati kebanyakan pembaca al-Quran melalaikannya. Jika qôri (pembaca al-Quran) mengkhususkan diri membaca kitab tafsir singkat yang dijadikannya rujukan setelah aktivitas harian, sungguh dia telah mengerti banyak akan makna al-Quran.
Kaum muslimin pada masa ini begitu perhatian untuk menulis tafsir mukhtshar (tafsir singkat). Engkau dapati di sebagian negeri kaum muslimin seperti negara dua tanah suci, Kementrian Urusan Islam dan Kitab telah menerbitkan  "Tafsir Al-Muyassar", kitab yang sesuai dengan namanya. Tafsir ini sekalipun tujuannya adalah terjemah (makna), tetapi faedahnya umum bagi siapa saja yang ingin mengetahui makna jumali (menyeluruh) akan ayat-ayat al-Quran. Besarnya upaya yang telah dituangkan dan nilai ilmiah yang dikandungnya tidak diketahui kecuali bagi siapa yang memperdalam dan bergelut dengan ikhtilaf (perbedaan pandang) ahli tafsir.
Maksud dari semua ini adalah hendaknya seorang muslim berupaya untuk memiliki tafsir dari mukhtasorôt (tafsir singkat/sederhana) yang senantiasa dibacanya sebagaimana membaca al-Quran. Agar terkumpul padanya pahala bacaan  dan kepahaman makna sekaligus.

Perkara ketiga:
Ketika tengah membaca al-Quran, biasanya barulah muncul  pada penuntut ilmu -secara khusus- faedah-faedah atau problema-problema. Dalam hal ini hendaknya segera mencatatnya agar tidak hilang.
Sesungguhnya al-Quran tidak pernah habis keajaibannya. Dan tidak diciptakan dengan banyak kemusykilan. Karena dia adalah al-Quran al-Majid (yaitu: memiliki kemuliaan, kelapangan dan keutamaan pada asal kata dan maknanya.) Demikian pula yang terkait dengan makna-makna dan pendalilan. Menggunakannya sebagai dalil merupakan kemuliaan sebagaimana kemuliaan al-Quran itu sendiri. Dia begitu luas tanpa batas karena kemegahan kitab tersebut.
Jika demikian keadaannya, engkau dapat membayangkan: berapa banyak faedah yang akan didapatkan oleh penuntut ilmu seandainya setiap orang yang berilmu menulis apa yang ia dapatkan dari tadabur (perenungan) atau problema-problema ketika membaca Kitabullah -ta'âla-.

Perkara keempat:
Sesungguhnya membaca pada malam hari termasuk ibadah yang bermanfaat. Berapa banyak ibadah yang tidak muncul kelezatannya kecuali di waktu gelap. Karenanya waktu yang paling penting sepertiga malam terakhir, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah -shalallah alaihi wasalam-:
(( يَنْزِلُ اللَّهُ تَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ : هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ؟ ))
"Allah -ta'âla- setiap malam 'turun' ke langit dunia dan berkata: "Adakah orang yang meminta, maka akan aku beri?, adakah yang memohon ampun, maka akan aku ampuni?"
[HR. Ahmad 98411, 17200]
Kita banyak lalai dengan ibadah malam, khususnya di bulan Ramadhan –padahal kita sering bergadang-. Merupakan kerugian besar bagi siapa yang diharamkan menikmati lezatnya ibadah malam.
Maka singsingkan lengan bajumu, susullah mereka yang telah lebih dulu menyingsingkan lengan bajunya sebelummu. Dalam hal ini janganlah jadi pengekor, tetapi jadilah yang terdepan. Semoga Allah -ta'âla- memberikan taufiknya kepada saya dan anda sebagaimana yang dicintai dan diridai-Nya.
Jika seorang muslim memenej dirinya untuk membaca al-Quran setiap malam, sungguh dia akan terikat dengan peribadatan kepada Allah. Dan pada malam-malam itu dia tidak termasuk orang yang lalai. Semoga Allah tidak menjadikan kita sebagai orang yang lalai.
Yang sering luput dari benak kita dari keseharian, yaitu penerangan malam yang mengalihkan malam menjadi seolah siang. Dengan demikian beralih pulalah fitrah Allah yang telah ditetapkan atas manusia dengan menjadikan malam sebagai masa istirahat.
Saya katakan, sesungguhnya telah lenyap dari kita kelezatan ibadah di waktu gelap. Karenanya, jika seorang muslim mencoba membaca al-Quran dari hafalannya atau shalat nafilah malam tanpa lampu, sesungguhnya hal itu akan menguatkan semangat dan konsentrasinya, karena aktivitas mata dapat menyibukkan bacaan dan shalat.
Siapa yang mencoba ibadah di saat gelap, akan mendapatkan kelezatan melebihi kelezatan di tempat bercahaya.

Perkara kelima:
Di antara faedah shalat tarawih Ramadhan adalah mendengar bacaan al-Quran dari penghafal al-Quran, pemilik suara yang merindu, yang bacaannya memberi pengaruh dan membekas di hati. Jika ada yang seperti itu, teruslah shalat bersamanya. Ketahuilah bahwa manusia dalam menerima suara berbeda-beda. Janganlah mencela qôri (pembaca al-Quran) bila dia tidak membuatmu takjub, karena hal itu termasuk ghibah (bergunjing). Jagalah untuk tetap pada qôri yang engkau dapati manfaat dari bacaannya. Hal ini dianjurkan, maksudnya mendatanginya untuk shalat di belakangnya.
Berikut adalah penyelewengan sebagai faedah dan pengingat, yang saya tujukan kepada imam-imam masjid yang mulia, yang mengimami manusia dalam shalat tarawih, yang telah Allah anugerahi dengan hafalan dan suara yang bagus serta mampu memberi pengaruh dengan bacaannya kepada manusia. Saya katakan kepada mereka:
"Jagalah agar pengaruh bacaan kalian terhadap manusia adalah saat memperdengarkan ucapan Rabb kalian (Kalamullah). Hindarilah menjadikan pengaruhnya hanya dalam doa qunut saja, karena yang demikian itu salah besar. Ketika kalian sengaja melakukannya berarti engkau telah menanamkan kesalahan itu kepada manusia. Bagaimana mempengaruhi manusia dengan ucapan manusia, dan tidak terpengaruh dengan ucapan Tuhan semesta alam. Subhanallah, bukankah hal itu perkara yang aneh?! Perlu untuk dipelajari dan dicarikan solusinya?
Tidakkah anda perhatikan sebagian imam yang merubah nada suaranya dan melakukan lantunan dalam qunut untuk menghanyutkan hati makmum dan mengajak mereka untuk menangis dan khusyuk'?
Mengapa hal itu tidak dilakukan ketika membaca Kalamulah -subhanahu wata'âla-, kenapa hal itu tidak dilakukan ketika memperdengarkan Kalamulah -subhanahu wata'âla-?!
Pengaruh al-Quran membuat pendengarnya kehilangan kata-kata, membuat khusyuk jiwa-jiwa orang saleh dan melambungkan ruh-ruh yang suci. Jagalah agar kekhusyukan dan pengaruhnya berasal dari Kalamulah, yang berfirman dari atas langit yang tujuh, yang didengar oleh Jibril, utusan Robbul Barriyyât, yang kemudian diperdengarkannya kepada sebaik-baik makhluk, Muhammad -shalallah alaihi wasalam-.
Saat shalat engkau tengah mendengar apa yang difirmankan Allah dari iliyyin (tempat tertinggi), tidakkah itu cukup untuk menghadirkan hati, meremangkan bulu roma untuk  kemudian menjadikan hati lembut dan menjadi tenang.
Sungguh ia adalah Kalamulah, sungguh ia adalah Kalamulah, maka mengertilah akan makna kata ini wahai muslim.

Perkara keenam:
Banyak orang bertanya bagaimana cara agar respons dengan al-Quran. Kenapa kita tidak khusyuk dalam shalat ketika mendengar Kalamullah?
Tidak diragukan bahwa hal itu berpulang pada banyak faktor, yang paling nyata adalah dosa-dosa dan kesalahan yang membebani pundak kita. Meskipun demikian, musti ada sedikit banyak pengaruh al-Quran, sekalipun kecil. Apakah ada jalan untuk itu?
Jauh dari kemaksiatan, memperbaiki hati serta menyibukkan diri dengan ketaatan adalah jalan agar respons dengan al-Quran. Seberapa besar kadar perbaikan yang dilakukan, akan sebesar itu pula pengaruhnya.
Responsif ketika membaca al-Quran memiliki sebab yang bermacam-macam, bisa dikarenakan keadaan orang itu sedang merasa rendah hingga hatinya siap untuk menerima karunia Robb -subhanahu wata'âla-.
Siapa yang bersegera hadir di masjid untuk shalat jumuat lalu melaksanakan shalat sunah sebanyak yang dikehendakinya, kemudian berzikir kepada Allah dan membaca Kitabullah, lalu mendengar khutbah, maka hatinya akan lebih respons terhadap Kalamulah dari pada orang yang datang terlambat, tergesa-gesa karena takut tertinggal shalat. Dengan ketergesaannya itu bagaimana jiwanya akan tenang dan hatinya akan tenteram sehingga dapat memahami Kalamulah dan meresapi makna-maknanya?!
Siapa yang telah membaca tafsir dari ayat-ayat yang dibaca oleh imam dan dapat menghadirkan maknanya di pikirannya, maka pengaruhnya akan lebih besar daripada yang tidak mengerti maknanya. Siapa yang melakukan sejumlah ketaatan sebelum shalatnya, maka kekhusyukan dan kedekatan hatinya dengan Kalamulah melebihi yang tidak melakukannya.
Engkau dapati mereka yang dulunya berlumur maksiat lalu Allah beri hidayah begitu menikmati dan merasakan kelezatan Kalamullah. Engkau dapati mereka khusyuk dan menangis. Hal itu tidak lain karena berubahnya keadaan hati mereka dari kerusakan menjadi baik. Jika hal ini terjadi pada mereka yang sebelumnya rusak, maka bagi yang telah lebih dulu melakukan kebaikan tentunya lebih dapat mengupayakannya, mencari apa-apa yang dapat menolongnya untuk khusyuk dan respons terhadap Kalamulah.

Perkara ketujuh:
Banyak yang bertanya, bagaimana aku menjaga ketaatanku yang telah Allah anugerahkan di bulan Ramadhan? Bersama berlalunya bulan, cepat sekali aku kembali meninggalkan ketaatan yang telah aku rasakan kelezatan dan manisnya saat melaksanakannya?
Sesungguhnya Rasulullah -shalallah alaihi wasalam- telah menggambarkan kepada kita manhaj (metode) yang jelas dalam setiap amal. Beliau telah menjelaskan dengan sabdanya:
(( أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ ))
"Amal yang paling dicintai Allah adalah yang berkesinambungan sekalipun sedikit."
[HR. al-Bukhari no.5861, Muslim no.1861. dan ini lafal Ahmad 27061, 27097]
Jika kita mengamalkan hadits ini dalam seluruh ibadah kita, sungguh ibadah kita akan banyak yang terjaga. Tetapi ketika kita seperti pengendara yang tergesa-gesa, tidak akan ada etape yang terlampaui karena di tengah jalan terpaksa berhenti kelelahan dan tidak ada tunggangan karena ia sudah tidak lagi berdaya akibat oper kecepatan di awal.
Jika seorang muslim membatasi ibadah hariannya dengan sedikit amal harian, yang dia tambah ketika sedang bersemangat, dan kembali kepada batasannya yang sedikit ketika futur (turun semangat), tentu itu bermanfaat baginya. Mudawwamah (kontinuitas) dalam ibadah walaupun sedikit lebih baik daripada melakukannya dalam jumlah banyak tetapi dalam rentang waktu berjauhan atau meninggalkannya sama sekali.
Siapa yang melaksanakan faroid (kewajiban) dan konsekuen melaksanakan sunan rawatib lalu menambahnya dengan ibadah lain yang dia kehendaki, sesungguhnya dia termasuk yang dicintai Allah, sebagaimana yang dikatakan-Nya dalam hadits qudsi:
(( وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ))
"Senantiasa hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan nawafil (ibadah sunah) hingga Aku mencintainya"
[HR. al-Bukhari no.6502. Ahmad 26947]
Menjaga shalat malam dengan tidak tidur sebelum shalat tiga rakaat, meskipun dengan shalat yang ringan. Jika merasa bersemangat ditambah, tapi jika tidak, tetap dengan tiga rakaat.
Dalam membaca al-Quran berpatokan dengan satu juz setiap hari. Bila sempurna satu bulan dia telah khatam al-Quran.
Pada puasa berpatokan pada tiga hari setiap bulan. Jika mampu untuk ditambah maka ditambah, tapi tidak kurang dari tiga hari.
Dalam nafkah berpatokan pada jumlah tertentu –sekalipun kecil-, dan tidaklah berlalu bulan melainkan dia telah menafkahkannya.
Demikian pula dengan ibadah-ibadah lain, berpatokan pada asal yang sedikit dan menambahnya ketika sedang bersemangat. Jika semangatnya menurun, dia kembali kepada sedikit yang dipatoknya. Sehingga dia tetap dalam ibadahnya tanpa beban, merasa berat, lupa dan melalaikannya.
Saya meminta kepada Allah memberi taufik kepada kita terhadap apa-apa yang dicintai dan diridainya, dan menjadikan kita termasuk mereka yang berucap dan berbuat.
Jika engkau renungi, bulan Ramadhan sudah menjadi seperti stasiun yang dijadikan manusia sebagai penambah bahan bakar. Ia adalah stasiun orang-orang saleh yang bersuka cita dengan kehadiran bulan ini dan menggunakannya untuk mengumpulkan perbekalan dengan beribadah di dunia untuk surga di akhirat. Dia adalah satu-satunya tempat pengasuhan pendidikan yang dimasuki oleh setiap muslim, orang-orang baiknya, yang salehnya juga pelaku maksiatnya. Apakah kita dapat memanfaatkan bulan ini?
Terakhir:
Saya meminta kepada Allah memberi kita taufik dan ketegaran, agar Allah mengangkat bala bencana dari umat ini, dan memberi petunjuk pemimpin kita kepada apa yang dicintai dan diridai-Nya. Memperlihatkan kepada kita kemenangan kaum muslimin dalam segala aspek kehidupan pada bulan ini, sesungguhnya Dia berkuasa dan mampu akan hal itu. Akhir doa kami adalah segali puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.




[1] Terdapat dua fase turunnya al-Quran. Pertama: diturunkan secara sekaligus ke langit dunia pada malam lailatul Qodar sebagaimana yang ditegaskan dalam firman Allah surat al-Qodar:1 dan al-Baqoroh:158. Fase kedua: diturunkan secara berangsur-angsur dari langit dunia kepada Nabi r baik dengan maupun tanpa Asbab an-Nuzul melalui perantaraan Malaikat Jibril. Pent-
Baca Selengkapnya...